Seorang laki-laki berpakaian lusuh berjalan memasuki sebuah kota kecil
bernama kota Montague. Kota ini terletak di salah satu pegunungan di
Perancis. Kota yang hanya berpenduduk sekitar 4000 jiwa ini merupakan
kota yang buruk, berantakan, namun bersih dan damai. Rumah-rumahnya
terlihat seperti tidak terurus, penuh dengan tumbuhan merambat di
bagian pagar dan tiang-tiang layaknya rumah tua. Meskipun begitu,
rumah-rumah yang kusam itu memiliki bagian dalam yang bersih dan
nyaman.
Laki-laki berpakaian lusuh itu berjalan dengan sepatu ketsnya yang
penuh jaitan menembus kota kecil yang sepi saat sore hari. Hanya ada
satu atau dua orang yang melewatinya dengan tatapan sinis, namun tidak
dapat disembunyikan ada rasa takut dalam diri mereka ketika melihat
laki-laki berbadan tinggi dan kekar itu. Jambang yang terlihat tidak
terawat, wajah lusuh, kotor, dengan keringat yang mengalir di pipinya,
rambut pirangnya yang sepanjang bahu terlihat berantakan, seperti
tidak pernah disisir. Dia memakai kaus berwarna keabu-abuan karena
luntur dan jaket kulit yang terlihat memiliki tambalan di bagian
lengan dengan kain seadanya dan jahitan yang berantakan, celana
jeansnya robek di bagian lutut.
Dia berjalan terus tanpa memperdulikan orang-orang yang melihatnya.
Terkadang jika dia merasa terganggu, dia akan membalas tatapan
orang-orang itu dengan tatapan dingin. Sebenarnya dibalik wajah
lusuhnya, dia memiliki wajah yang tampan. Rahang kekar, hidung yang
lurus dan mancung, alis tebal, bulu mata lebat dan sepasang bola mata
berwarna biru terang. Namun mata terang itu kini menampakkan kebencian
yang tajam, penderitaan yang mendalam dan keputusasaan yang dapat
membuat siapapun yang melihatnya ngeri. Diwajahnya juga tampak rasa
letih yang luar biasa. Tidak bisa dipungkiri, perjalanan
berpuluh-puluh kilometer yang ditempuhnya telah membuat tubuh kekarnya
dan juga otot-otot kakinya lemas. Selama 37 jam perjalanan ditempuh
hanya dengan memakan sebuah roti dan meminum air disetiap pancuran air
yang dia lewati. Dia merasa harus menemukan tempat untuk
mengistirahatkan tubuhnya. Dia melihat sebuah penginapan yang cukup
bagus dan memasukinya.
Penginapan Angevin adalah sebuah penginapan milik seorang wanita tua
berumur 65 tahun. Badannya bungkuk dan gemuk. Rambut putih keriting
pendeknya menampakkan leher keriput yang pendek. Wajah keriputnya
menampilkan kesan bijaksana, ramah dan angkuh. Sejak suaminya
meninggal, dia mengurus penginapan ini bersama anak laki-lakinya yang
sudah berumur 40 tahun namun belum juga menikah.
Laki-laki asing itu memasuki penginapan dengan ransel besar yang
dibawanya. Dia langsung menuju tempat penerimaan tamu dan berhadapan
dengan anak pemilik penginapan.
"Aku menginginkan sebuah kamar dan makan malam."
Pemilik penginapan itu memandanginya dari ujung kepala sampai ujung
kaki. Kemudian berkata,
"Ini adalah penginapan terbaik di kota ini!" ucapannya itu diakhiri
dengan seulas senyum sinis.
"Aku punya uang!" laki-laki asing itu merogoh saku jaketnya,
mengeluarkan sebuah dompet dan mengacungkannya dihadapan pemilik
penginapan itu.
Pemilik penginapan itu merasa tidak percaya padanya. Namun akhirnya
berkata "Baiklah"
Ketika sedang menulis daftar tamu tiba-tiba seseorang masuk dan
memberi isyarat kepadanya untuk berbicara.
"Sebentar" pemilik penginapan itu menghampiri laki-laki yang baru saja
datang. Dia langsung menuju ruang tengah dan tidak lama setelah itu
dia kembali kepada orang asing tadi.
"Pergilah dari sini!" perintahnya dengan kasar.
"Apa? Tapi aku ingin menginap di sini."
Pemilik penginapan itu menarik lengan laki-laki asing ini keluar. "Kau
pikir aku tidak tahu siapa kau sebenarnya, hah? Pergilah!" bentaknya
keras.
"Tapi aku punya uang!"
"Aku tidak butuh uangmu!" teriak seorang wanita tua pemilik penginapan
yang tiba-tiba muncul dari belakang anaknya. Dia melemparkan sebuah
batu sebesar genggaman tangan anak kecil yang mengenai dahi laki-laki
asing tersebut. "Pergi dari sini!" dia kembali melemparkan batu yang
berukuran lebih kecil. Laki-laki asing itu akhirnya pergi sambil
mengusap darah di dahinya dengan rasa malu.
Dia melihat papan bertuliskan "Granville", sebuah penginapan lain. Dia
masuk kedalam. Tempatnya memang lebih kecil dari penginapan
sebelumnya. Pemilik penginapan tersebut sedang memasukkan beberapa
kayu di perapiannya.
"Aku ingin sebuah kamar untuk istirahat." perkataannya membuat pemilik
penginapan yang bertubuh gempal dan berwajah ramah itu menoleh.
"Baiklah, tunggu sebentar." dia berjalan menuju ke dalam dan keluar
beberapa saat kemudian dengan raut wajah yang berbeda.
"Sebaiknya kau pergi dari sini."
"Kenapa? Aku lelah dan ingin beristirahat."
"Kami tidak punya kamar kosong."
"Aku bisa tidur di ruang tamu ini."
"Itu akan mengganggu tamu yang lain."
"Kalau begitu letakkan aku di gudang."
"Gudang kami penuh dengan barang. Sudahlah, aku tahu siapa kau. Jadi
pergilah dari sini! Aku tidak akan menerima penjahat sepertimu."
Laki-laki asing itu kembali meninggalkan penginapan dengan rasa malu.
Hari yang semakin gelap membuat tubuhnya merasakan dingin yang menusuk
sampai ke tulang. Akhirnya dia menemukan penginapan lusuh. Dia
mengetuk pintu beberapa kali hingga seorang wanita kurus membuka pintu
untuknya.
"Aku ingin tempat untuk istirahat."
"Tapi tempat kami tidak begitu baik. Kami hanya punya sebuah tempat
tidur yang terbuat dari batu dan tumpukan jerami sebagai alasnya, juga
sebuah meja dan kursi kayu rapuh." jelas wanita itu jujur.
"Tak apa, aku sudah biasa tidur di atas batu. Tapi apa kau punya
makanan? Aku sangat lapar." wanita itu mengangguk dan membuka pintu
lebih lebar untuk mempersilahkannya masuk. Dia menyimpan tas ranselnya
dan menghampiri perapian untuk menghangatkan tubuhnya. Namun belum
lama dia duduk di depan perapian dia dikejutkan oleh teriakan seorang
pria dibelakangnya.
"Kau! Pergi dari sini!"
Dia menoleh ke belakang dan melihat seorang pria berbadan tegap
menodongkan sebongkah kayu kepadanya. Dibelakangnya berdiri seorang
wanita kurus yang memeluk kedua anaknya yang masih kecil.
"Kalian sudah tahu." dia berjalan pasrah mengambil tas ranselnya dan
keluar meninggalkan penginapan tersebut lagi-lagi dengan rasa malu.
Perasaannya kini telah bercampur aduk. Malu, kesal, marah, sedih. Dia
hanyut dalam pikirannya sendiri sambil terus berjalan asal. Dia sampai
di depan sebuah rumah sederhana yang bersih dengan pagar besinya yang
sudah berkarat. Di depan rumah itu terdapat sebuah altar, tiga orang
sedang mengobrol dan tertawa di sana. Seorang pria 48 tahunan yang
gagah dan berwajah ramah, seorang wanita 45 tahunan yang berwajah
hangat dan tenang, juga seorang gadis 24 tahunan berparas cantik.
Canda tawa mereka terhenti ketika melihat seorang laki-laki membuka
pagar dan menghampiri mereka. Wajah yang ceria kini berubah menjadi
ketakutan. Pria yang sepertinya adalah kepala keluarga di rumah itu
mengambil sebongkah kayu yang berada dekat pintu rumahnya. Sementara
istrinya merangkul anaknya dan berdiri di belakang suaminya.
"Pergilah dari sini! Kami tidak punya urusan apapun denganmu!"
suaranya gemetar namun tetap terdengar tegas.
"Jadi kalian sudah tahu juga." dia berbicara dengan nada yang lelah.
"Kami tidak tahu siapa kau, dan kami tidak mau tahu. Jadi cepatlah
pergi dari sini!"
"Aku adalah seorang mantan narapidana yang dipenjara karena tidak
sengaja membunuh sahabatku saat umur 9 tahun. Aku dijadikan budak, dan
di masukkan dalam penjara saat usia 14 tahun. Aku berjalan
berpuluh-puluh kilometer untuk menuju gurun pengasingan di sebrang
kota ini. Aku memang hina dan sampah masyarakat-" perkataannya
terhenti ketika tatapannya beradu dengan gadis cantik yang masih
berada dalam rangkulan ibunya. Tatapannya yang lembut membuat hatinya
tenang dan sedih. Dia menunduk malu, "-aku kelaparan, kedinginan dan
kelelahan. Tidak bisakah kau memberiku tempat istirahat?" nadanya
terdengar pasrah dan memohon. Dia melangkah maju untuk menghampiri
mereka, namun hal itu membuat pipinya mendapatkan sebuah pukulan dari
sebuah kayu yang sejak tadi menodongnya. Dia tersungkur ke samping,
tubuhnya sudah benar-benar lelah dan perutnya sakit karena lapar.
Pria itu mengajak keluarganya masuk ke dalam rumah. Dari dalam kamar,
sang gadis mengintip dari jendelanya dengan ragu, dalam hatinya dia
merasa kasihan pada laki-laki itu. Tatapannya memang dingin, namun
menyimpan luka yang mendalam. Dia menutup tirai jendelanya. Tidak lama
kemudian dia keluar dari rumahnya dengan menggunakan mantel merah yang
kusam dan membawa sebuah kain lebar yang digulung-gulung. Laki-laki
itu mengangkat wajahnya. Dia menarik tangan laki-laki itu dan
membantunya berdiri. Dia membawanya ke sebuah gudang di samping
rumahnya.
"Tinggalah di sini, ini beberapa roti untuk kau makan, dan sisanya
bisa kau bawa untuk bekal." dia mengeluarkan beberapa buah roti dari
dalam kain yang dibawanya. "Dan ini selimut untuk menghangatkan
tubuhmu."
"Kau tidak takut aku akan berbuat sesuatu pada keluargamu?"
Dia menyentuh pipi laki-laki itu dengan tangan lembutnya sambil
tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
"Pergilah sebelum fajar, orang-orang pergi ke pasar saat fajar." dia
pergi menuju pintu.
"Aku Frasier"
"Elise" dia tersenyum dan menutup pintu.
Gudang itu kotor dan berantakan. Namun terdapat sedikit ruang untuk
istirahat. Memang jauh dari kenyamanan. Namun inilah yang terbaik yang
bisa didapatkannya.
Sebelum menemani ibunya ke pasar, diam-diam Elise menyelinap ke
gudang. Dia ingin melihat Frasier sudah pergi atau belum. Ketika dia
membuka pintu gudang, dia mendapati ruangan itu sudah tidak
berpenghuni. Hanya tersisa kain yang dibawanya semalam sudah terlipat
rapih di atas sebuah kotak kayu. Di sana juga terdapat secarik kertas
yang sepertinya memang ditinggalkan untuknya.
Elise, kau gadis yang baik dan cantik. Aku menyukai kelembutanmu dan
aku berterima kasih atas kebaikanmu. Aku berdoa untuk kebahagiaanmu.
Frasier
"Aku juga akan selalu berdoa untukmu" Elise menyimpan kertas itu di
sakunya sambil tersenyum. Dia berjanji dalam hatinya kalau dia tidak
akan melupakan Frasier.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar