Jumat, 14 Maret 2014
Malam, Hujan, Senja
Malam, hujan, senja. Aku tak mengerti mengapa mereka selalu saja dijadikan sebagai potongan diksi yang puitis. Aku melewati malam dan senja sebagaimana mestinya seorang anak melewati jalan yang sama saat pergi ke sekolah. Tak ada yang aneh, tak ada yang sendu, tak ada yang rapuh. Tak seperti diksi yang merangkum mereka dalam ruang prosa. Aku bahkan menggerutu kala hujan datang. Basah, becek, kotor tanah, dan tidak cerah. Tak ada yang istimewa. Aku menganggapnya hanya sebagai air yang jatuh dari langit. Tidak seperti suasana yang orang bilang romantis. Tidak. Biasa saja. Tapi mengapa Malam, Hujan, dan Senja selalu menjadi potongan diksi yang sendu? Ataukah bagian dari mereka selalu membuat orang mengingat hal yang rapuh? Ataukah ada kenangan di dalamnya yang membuat orang selalu mencantumkan mereka dalam diksinya. Ataukah, diam-diam kalian semua berharap kala malam, hujan, dan senja adalah kala dimana dia yang ditunggu hadir.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar