Selasa, 25 Maret 2014

Mawar

Akhirnya aku kembali bisa bernafas
tuhan,yang tadi itu apa?

"Jangan petik bunga itu! ", suara itu berbisik tapi terdengar menggelegar dan membuat telinga nyeri. Ada apa dengan simerah yang masih kuncup itu,suara apa itu? Kupalingkan wajah sambil terus meyakinkan diri bahwa suara itu hanya halusinasi,lebih tepatnya menenangkan diri,menipu pemikiran sendiri, diam-butuh waktu untuk menggerakkan kaki yang seakan menancap dan mengumpulkan nyawa untuk beranjak pergi.

Pagi ini,aku kembali lewat didepan rumah berpagar putih itu,pagar yang terlihat sangat kontras dengan mawar-mawar kuncup yang menyelip di sela-selanya,ya-menggoda untuk dipetik,seperti biasanya. Tanpa kusadari tanganku telah memegang tangkai mawar kuncup itu,"tidak,jangan!",batinku menegur diriku sendiri sebelum suara lain kembali menghardikku dengan dinginnya,suara yang takkan berani untukku cari sumbernya. Aku memutuskan untuk bergegas pergi melewati sosok putih yang memperhatikanku dengan tatapan tajam di sela-sela pagar. Bukan-itu hanya halusinasiku. Berlalu-aku takkan berani balik menatap.

Siang ini aku tak ingin kembali lewat jalan itu,tepatnya rumah itu, setelah suara,sosok putih itu,aku takkan bisa memprediksi apa lagi yang akan aku halusinasikan jika leewat rumah berpagar putih itu.lagi pula,aku tak yakin bisa menahan diri untuk tidak memetik mawar merah kuncup itu kali ini.
aku berjalan memutar, 2X lebih jauh dari yang seharusnya, melelahkan tapi ini lebih tidak beresiko.
Didepan rumah,ku temui pagar hitam rumahku terkunci,pasti mama trauma dengan kejadian 6 hari yang lalu,saat seorang dengan wajah yang membuatku pucat pasi tiba-tiba berdiri di depan pintu. Ku panggil mama berkali-kali ,tak ada jawaban. Aku memutuskan untuk lewat pintu samping,biasanya pagar disamping kanan rumahku tak dikunci, belum sampai di pagar samping,aku kembali melihat kuncup merah itu,halusinasi lagi, kupercepat langkahku ,dan menabrak pagar samping dengan kerasnya,masuk dengan tergesa-gesa,aku baru bisa bernafas lega.

Pagi,aku terlambat,seharusnya aku sudah berangkat 1 jam yang lalu,tapi mimpi aneh itu membuatku tidak bisa tidur sampai pagi, (lagi) tentang mawar merah ,sosok putih ,dan suara berat menggelegar itu. Ahh, pagi ini tidak akan menjadi lebih baik,aku terlambat,jika aku berangkat 1 jam yang lalu aku akan bisa jalan memutar, tapi aku sudah terlambat,mau tidak mau,aku harus lewat rumah berpagar putih itu.
Aku berhasil melewatinya tanpa menoleh,kuperlambat langkahku, langkahku menjadi lebih berirama santai.tapi tunggu,itu bukan suara langkahku,ada seseorang dibelakang, langkah yang berat , refleks aku menoleh kebelakang. Sosok putih itu, berjalan dibelakangku. Bukan,dia mengikutiku,kembali wajahku pucat pasi seperti pertama kali aku melihat wajah itu di pintu rumahku minggu lalu. Tanpa pikir panjang aku lari,bersyukur tangannya yang hendak menjangkau lenganku tak sampai menyentuhku.  Kali ini bukan halusinasi,ini nyata. Apa aku sudah gila? Ini pagi hari,bagaimana bisa dia keluar.

Sepanjang hari aku tak bisa melupakan sosok putih itu dan suara beratnya , badanku menggigil,kepalaku pusing,wajahku masih pucat, sesaat seperi ada ribuan kunang-kunang di mataku-sinar putih menyilaukan-pagar putih-dan kuncup mawar merah di sela-selanya-wajah itu,sosok putih itu bergantian muncul bagai slide show yang diatur dengan durasi per 0,00000001 detik,sangat cepat,lalu gelap, aku tak sadarkan diri.

sudah seminggu ini aku tidak keluar rumah,artinya sudah seminggu aku tidak lewat rumah berpagar putih itu, anehnya,tak seharipun aku lalui tanpa mimpi aneh itu.kadang aku dengar suara berat itu sedang berbicara di depan pintu kamarku,kadang aku mencium bau mawar yang khas . Aku sudah gila,pasti aku sudah gila.

Jam 8 malam,bau masakan mama menyelinap ke kamarku .ku coba untuk keluar dari selimut,badanku sakit, sudah seminggu badan ini hanya bergolek diatas kasur. Selangkah lagi menuju pintu,tiba-tiba gagang pintuku bergerak,ada seseorang yang sedang mencoba membuka pintuku dari luar,aku yakin itu bukan mama,mama sedang memasak di dapur,dirumah ini hanya ada aku dan mama.siapa itu? Aku hanya diam, suara berat itu memanggil namaku,wajahku pucat,kakiku tertancap tak bergerak, nyawaku seperti terbang, gagang pintu itu berdecit,bunyi pintu berderit membuka kedalam ,diikuti sosok putih itu menyelinap dibalikknya. Dia di sini,dan aku tak bisa bergerak, aku tak bisa berteriak, aku mematung ,menatap membalas tatapan tajamnya. Masih dalam keadaan membatu, wangi mawar menyeruak memenuhi kepalaku.

 Dia masih berdiri diam , tangannya menjulur kaku kearahku,  aku ingin melarikan diri,tapi kakiku tak bisa digerakkan seolah ada yang memeganggnya dengan cengkraman yang kuat. Aku tidak bisa bergerak,wangi mawar itu menyengat,apakah aku akan kehilangan kesadaran lagi.
Tangannya masih menjulur kaku kearahku, dia mengalihkan tatapnnya dariku dan melirik mawar mekar ditangannya yang terjulur."mawar ini untukmu,sudah mekar", dia tersenyum dan kembali menatapku.
Bak terhipnotis tanganku telah menjangkau bunga mawar mekar di tangannya-masih terdiam.
" aku tidak melihatmu lewat di depan rumah seminggu ini,ibumu bilang kamu sedang sakit, kemaren waktu aku datang kamu sedang tidur,jadinya aku hanya sampai pintu kamar kamu,kamu sudah baikan?" ,dia kembali tersenyum,senyum yang sama yang membuat nyawaku seolah hilang saat pertama kali melihatnya.

Dia adalah reno,tetangga baruku, aku sangat terkejut saat pertama kali bertamu kerumahku memperkenalkan diri sebagai tetangga baruku,rumahnya ada di samping kanan rumahku,bahkan pagar hitam sebelah kananku dengan pagar putihnya hanya berjarak beberapa langkah. Dia terlihat sangat sempurna dengan baju putih yang dia kenakan ,dan senyum indah itu membuatku pucat pasi . Sehari setelah dia pindah ,aku melihat banyak perubahan di rumah tetanggaku itu,bnyak bunga mawar merah dipagar putihnya yang sederhana, bagaimana mungkin seorang laki-laki suka keindahan,membuatku semakin memikirkannya. Sore itu aku sangat jatuh cinta pada salah satu tangkai mawar kuncup itu,aku pikir tak akan berpengaruh jikaku petik satu untuk dikamarku. Belum sampai menjangkaunya,reno telah ada disampingku ,dan berbisik lembut untuk jangan memetiknya, jantungku berdebar,suara berat yang berbisik lembut terdengar menggelegar di telingaku. Aku seakan bisa melihatnya tersenyum setelah berbicara,itu membuatku tak sanggup untuk berbalik kearahnya dan meminta maaf.aku malah bergegas lergi dengan perasaan yang tidak menentu,akubtidak ingin memperlihatkan perasaan suka ku padanya. Bagaimana mungkin aku jatuh cinta pada pandangan pertama,terlalu klise.

aku memutuskan untuk menghindari reno,aku bahkan memilih untuk berjalan memutar komplek agar tidak lewat di depan rumahnya. Aku merasa bodoh bagaimana aku bisa berjalan memutar ke kiri hanya untuk menghindari 1 rumah di sebelah kanan rumahku.

"Ooiya,minggu lalu,saat kamu lewat di depan rumahku,gantungan kuncimu jatuh. Waktu aku kejar kamu buat balikin,kamunya malah lari. Hehe,mungkin kamu tergesa-gesa gara-gara telat"

Hari itu,saat dia mengikutiku,dan aku tak berhenti memikirkannya di sekolah,,bagaiman mungkin aku sadar gantungan ku lepas,jika sudah melihat wajahnya. Tuhan aku sudah gila,bagaiman kejadiian itu membuatku sakit beberapa hari ini,beginikah efek cinta pertama, tuhan ,ini sangat berlebihan.

"Kok diam aja sih,kamu masih marah ya karena aku melarangmu memetik mawarku waktu itu? Aku g' bermaksud melarang sih,waktu itu mawarnya masih kuncup,mawar itu akan terlihat lebih indah kalau udah mekar seperti sekarang. Aku belum sempat jelasin kamu udah lari. Maafin aku ya"

Dian benar,mawar itu terlihat jauh lebih indah sekarang,wanginya juga semakin harum.
"Makasi ya", itu satu-satunya kata yang terfikir.

Reno tersenyum, senyum indah yang serasi dengan baju putihnya,baju putih yang tampak kontras dengan bunga mawar mekar yang sedang kupegang sekarang. Sama seperti mimpi aneh yang membuatku terlambat,mimpi yang selalu datang selama seminggu ini.

Akhirnya aku kembali bisa bernafas,
tuhan, yang kurasakan sejak pertama kali melihatnya itu apa?
Tuhan,apa alasan aku bertingkah aneh 2 minggu ini?
Apa ini cinta?

Mungkinkah

Writed by: bintu akmal

Senin, 24 Maret 2014

Idiopatik


Rasa idiopatik dalam jiwaku menyeruak kala kulihat matamu..
Seolah dia mengajakku berbicara mengitari perihelium dan berotasi lebih cepat menghilangkan waktu..
Membuatku terjerumus semakin dalam tanpa sadar padahal iskemik mengisi aortaku..

Obstruksi namamu tak terjadi sekali dua kali saja..
Kian menumpuk menghiasi perifer tak berdaya..
Suaraku tercekat, pembuluh darahku stenosis ketika aku mencoba memanggilmu..
Hanya diam.. yang bisa kulakukan kala menatap fotosfera di retinamu..
Hatiku telah dibutakan cahaya itu..

Tapi..
Mungkin kau tak kan pernah tau..
Tidak akan pernah..
Biarlah kunikmati idiopatik ini..

Menunggumu dalam diam..
Menjadi lilin yang rela terbakar menerangi harimu..
Menjadi angin tak terlihat demi menyejukkan jiwamu..
Menjadi air tak tergenggam demi menghilangkan dahagamu..
Atau menjadi aku yang tak terasa keberadaannya di hatimu..

Rabu, 19 Maret 2014

Sampah "Montague"

Seorang laki-laki berpakaian lusuh berjalan memasuki sebuah kota kecil
bernama kota Montague. Kota ini terletak di salah satu pegunungan di
Perancis. Kota yang hanya berpenduduk sekitar 4000 jiwa ini merupakan
kota yang buruk, berantakan, namun bersih dan damai. Rumah-rumahnya
terlihat seperti tidak terurus, penuh dengan tumbuhan merambat di
bagian pagar dan tiang-tiang layaknya rumah tua. Meskipun begitu,
rumah-rumah yang kusam itu memiliki bagian dalam yang bersih dan
nyaman.
Laki-laki berpakaian lusuh itu berjalan dengan sepatu ketsnya yang
penuh jaitan menembus kota kecil yang sepi saat sore hari. Hanya ada
satu atau dua orang yang melewatinya dengan tatapan sinis, namun tidak
dapat disembunyikan ada rasa takut dalam diri mereka ketika melihat
laki-laki berbadan tinggi dan kekar itu. Jambang yang terlihat tidak
terawat, wajah lusuh, kotor, dengan keringat yang mengalir di pipinya,
rambut pirangnya yang sepanjang bahu terlihat berantakan, seperti
tidak pernah disisir. Dia memakai kaus berwarna keabu-abuan karena
luntur dan jaket kulit yang terlihat memiliki tambalan di bagian
lengan dengan kain seadanya dan jahitan yang berantakan, celana
jeansnya robek di bagian lutut.
Dia berjalan terus tanpa memperdulikan orang-orang yang melihatnya.
Terkadang jika dia merasa terganggu, dia akan membalas tatapan
orang-orang itu dengan tatapan dingin. Sebenarnya dibalik wajah
lusuhnya, dia memiliki wajah yang tampan. Rahang kekar, hidung yang
lurus dan mancung, alis tebal, bulu mata lebat dan sepasang bola mata
berwarna biru terang. Namun mata terang itu kini menampakkan kebencian
yang tajam, penderitaan yang mendalam dan keputusasaan yang dapat
membuat siapapun yang melihatnya ngeri. Diwajahnya juga tampak rasa
letih yang luar biasa. Tidak bisa dipungkiri, perjalanan
berpuluh-puluh kilometer yang ditempuhnya telah membuat tubuh kekarnya
dan juga otot-otot kakinya lemas. Selama 37 jam perjalanan ditempuh
hanya dengan memakan sebuah roti dan meminum air disetiap pancuran air
yang dia lewati. Dia merasa harus menemukan tempat untuk
mengistirahatkan tubuhnya. Dia melihat sebuah penginapan yang cukup
bagus dan memasukinya.
Penginapan Angevin adalah sebuah penginapan milik seorang wanita tua
berumur 65 tahun. Badannya bungkuk dan gemuk. Rambut putih keriting
pendeknya menampakkan leher keriput yang pendek. Wajah keriputnya
menampilkan kesan bijaksana, ramah dan angkuh. Sejak suaminya
meninggal, dia mengurus penginapan ini bersama anak laki-lakinya yang
sudah berumur 40 tahun namun belum juga menikah.
Laki-laki asing itu memasuki penginapan dengan ransel besar yang
dibawanya. Dia langsung menuju tempat penerimaan tamu dan berhadapan
dengan anak pemilik penginapan.
"Aku menginginkan sebuah kamar dan makan malam."
Pemilik penginapan itu memandanginya dari ujung kepala sampai ujung
kaki. Kemudian berkata,
"Ini adalah penginapan terbaik di kota ini!" ucapannya itu diakhiri
dengan seulas senyum sinis.
"Aku punya uang!" laki-laki asing itu merogoh saku jaketnya,
mengeluarkan sebuah dompet dan mengacungkannya dihadapan pemilik
penginapan itu.
Pemilik penginapan itu merasa tidak percaya padanya. Namun akhirnya
berkata "Baiklah"
Ketika sedang menulis daftar tamu tiba-tiba seseorang masuk dan
memberi isyarat kepadanya untuk berbicara.
"Sebentar" pemilik penginapan itu menghampiri laki-laki yang baru saja
datang. Dia langsung menuju ruang tengah dan tidak lama setelah itu
dia kembali kepada orang asing tadi.
"Pergilah dari sini!" perintahnya dengan kasar.
"Apa? Tapi aku ingin menginap di sini."
Pemilik penginapan itu menarik lengan laki-laki asing ini keluar. "Kau
pikir aku tidak tahu siapa kau sebenarnya, hah? Pergilah!" bentaknya
keras.
"Tapi aku punya uang!"
"Aku tidak butuh uangmu!" teriak seorang wanita tua pemilik penginapan
yang tiba-tiba muncul dari belakang anaknya. Dia melemparkan sebuah
batu sebesar genggaman tangan anak kecil yang mengenai dahi laki-laki
asing tersebut. "Pergi dari sini!" dia kembali melemparkan batu yang
berukuran lebih kecil. Laki-laki asing itu akhirnya pergi sambil
mengusap darah di dahinya dengan rasa malu.
Dia melihat papan bertuliskan "Granville", sebuah penginapan lain. Dia
masuk kedalam. Tempatnya memang lebih kecil dari penginapan
sebelumnya. Pemilik penginapan tersebut sedang memasukkan beberapa
kayu di perapiannya.
"Aku ingin sebuah kamar untuk istirahat." perkataannya membuat pemilik
penginapan yang bertubuh gempal dan berwajah ramah itu menoleh.
"Baiklah, tunggu sebentar." dia berjalan menuju ke dalam dan keluar
beberapa saat kemudian dengan raut wajah yang berbeda.
"Sebaiknya kau pergi dari sini."
"Kenapa? Aku lelah dan ingin beristirahat."
"Kami tidak punya kamar kosong."
"Aku bisa tidur di ruang tamu ini."
"Itu akan mengganggu tamu yang lain."
"Kalau begitu letakkan aku di gudang."
"Gudang kami penuh dengan barang. Sudahlah, aku tahu siapa kau. Jadi
pergilah dari sini! Aku tidak akan menerima penjahat sepertimu."
Laki-laki asing itu kembali meninggalkan penginapan dengan rasa malu.
Hari yang semakin gelap membuat tubuhnya merasakan dingin yang menusuk
sampai ke tulang. Akhirnya dia menemukan penginapan lusuh. Dia
mengetuk pintu beberapa kali hingga seorang wanita kurus membuka pintu
untuknya.
"Aku ingin tempat untuk istirahat."
"Tapi tempat kami tidak begitu baik. Kami hanya punya sebuah tempat
tidur yang terbuat dari batu dan tumpukan jerami sebagai alasnya, juga
sebuah meja dan kursi kayu rapuh." jelas wanita itu jujur.
"Tak apa, aku sudah biasa tidur di atas batu. Tapi apa kau punya
makanan? Aku sangat lapar." wanita itu mengangguk dan membuka pintu
lebih lebar untuk mempersilahkannya masuk. Dia menyimpan tas ranselnya
dan menghampiri perapian untuk menghangatkan tubuhnya. Namun belum
lama dia duduk di depan perapian dia dikejutkan oleh teriakan seorang
pria dibelakangnya.
"Kau! Pergi dari sini!"
Dia menoleh ke belakang dan melihat seorang pria berbadan tegap
menodongkan sebongkah kayu kepadanya. Dibelakangnya berdiri seorang
wanita kurus yang memeluk kedua anaknya yang masih kecil.
"Kalian sudah tahu." dia berjalan pasrah mengambil tas ranselnya dan
keluar meninggalkan penginapan tersebut lagi-lagi dengan rasa malu.
Perasaannya kini telah bercampur aduk. Malu, kesal, marah, sedih. Dia
hanyut dalam pikirannya sendiri sambil terus berjalan asal. Dia sampai
di depan sebuah rumah sederhana yang bersih dengan pagar besinya yang
sudah berkarat. Di depan rumah itu terdapat sebuah altar, tiga orang
sedang mengobrol dan tertawa di sana. Seorang pria 48 tahunan yang
gagah dan berwajah ramah, seorang wanita 45 tahunan yang berwajah
hangat dan tenang, juga seorang gadis 24 tahunan berparas cantik.
Canda tawa mereka terhenti ketika melihat seorang laki-laki membuka
pagar dan menghampiri mereka. Wajah yang ceria kini berubah menjadi
ketakutan. Pria yang sepertinya adalah kepala keluarga di rumah itu
mengambil sebongkah kayu yang berada dekat pintu rumahnya. Sementara
istrinya merangkul anaknya dan berdiri di belakang suaminya.
"Pergilah dari sini! Kami tidak punya urusan apapun denganmu!"
suaranya gemetar namun tetap terdengar tegas.
"Jadi kalian sudah tahu juga." dia berbicara dengan nada yang lelah.
"Kami tidak tahu siapa kau, dan kami tidak mau tahu. Jadi cepatlah
pergi dari sini!"
"Aku adalah seorang mantan narapidana yang dipenjara karena tidak
sengaja membunuh sahabatku saat umur 9 tahun. Aku dijadikan budak, dan
di masukkan dalam penjara saat usia 14 tahun. Aku berjalan
berpuluh-puluh kilometer untuk menuju gurun pengasingan di sebrang
kota ini. Aku memang hina dan sampah masyarakat-" perkataannya
terhenti ketika tatapannya beradu dengan gadis cantik yang masih
berada dalam rangkulan ibunya. Tatapannya yang lembut membuat hatinya
tenang dan sedih. Dia menunduk malu, "-aku kelaparan, kedinginan dan
kelelahan. Tidak bisakah kau memberiku tempat istirahat?" nadanya
terdengar pasrah dan memohon. Dia melangkah maju untuk menghampiri
mereka, namun hal itu membuat pipinya mendapatkan sebuah pukulan dari
sebuah kayu yang sejak tadi menodongnya. Dia tersungkur ke samping,
tubuhnya sudah benar-benar lelah dan perutnya sakit karena lapar.
Pria itu mengajak keluarganya masuk ke dalam rumah. Dari dalam kamar,
sang gadis mengintip dari jendelanya dengan ragu, dalam hatinya dia
merasa kasihan pada laki-laki itu. Tatapannya memang dingin, namun
menyimpan luka yang mendalam. Dia menutup tirai jendelanya. Tidak lama
kemudian dia keluar dari rumahnya dengan menggunakan mantel merah yang
kusam dan membawa sebuah kain lebar yang digulung-gulung. Laki-laki
itu mengangkat wajahnya. Dia menarik tangan laki-laki itu dan
membantunya berdiri. Dia membawanya ke sebuah gudang di samping
rumahnya.
"Tinggalah di sini, ini beberapa roti untuk kau makan, dan sisanya
bisa kau bawa untuk bekal." dia mengeluarkan beberapa buah roti dari
dalam kain yang dibawanya. "Dan ini selimut untuk menghangatkan
tubuhmu."
"Kau tidak takut aku akan berbuat sesuatu pada keluargamu?"
Dia menyentuh pipi laki-laki itu dengan tangan lembutnya sambil
tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
"Pergilah sebelum fajar, orang-orang pergi ke pasar saat fajar." dia
pergi menuju pintu.
"Aku Frasier"
"Elise" dia tersenyum dan menutup pintu.
Gudang itu kotor dan berantakan. Namun terdapat sedikit ruang untuk
istirahat. Memang jauh dari kenyamanan. Namun inilah yang terbaik yang
bisa didapatkannya.
Sebelum menemani ibunya ke pasar, diam-diam Elise menyelinap ke
gudang. Dia ingin melihat Frasier sudah pergi atau belum. Ketika dia
membuka pintu gudang, dia mendapati ruangan itu sudah tidak
berpenghuni. Hanya tersisa kain yang dibawanya semalam sudah terlipat
rapih di atas sebuah kotak kayu. Di sana juga terdapat secarik kertas
yang sepertinya memang ditinggalkan untuknya.

Elise, kau gadis yang baik dan cantik. Aku menyukai kelembutanmu dan
aku berterima kasih atas kebaikanmu. Aku berdoa untuk kebahagiaanmu.
Frasier

"Aku juga akan selalu berdoa untukmu" Elise menyimpan kertas itu di
sakunya sambil tersenyum. Dia berjanji dalam hatinya kalau dia tidak
akan melupakan Frasier.

Minggu, 16 Maret 2014

Para Penutup Sebelah Mata

Jangan mau ada batas
Terbatas bukan berarti lemah
Kupu-kupu yang rapuh saja dapat terbang ke angkasa
Ikan yang tak punya kaki saja dapat mengarungi samudra

Ini semua tentang perspektif
Sudut pandang kita sendiri
Karena apa yang kita anggap tidak ada
Sebenarnya hanyalah suatu batasan pandangan
Ketika kau tidak punya kertas
Bukan berarti kau tidak mempunyai buku

Lihatlah
Kau memiliki segalanya
Tak ada orang yang sempurna
Begitu juga kau

Berfikirlah
Lebih dari pelangi yang penuh warna
Adakalanya
Pasti ada
Ada yang dapat kau temui
Hanya belum saja

Mungkin

Sabtu, 15 Maret 2014

"...."



Terdiam
Termangu
Sendiri
Karena Kau
Sadarkah ?
Terima Kasih
Atas namaku dan orang-orang yang telah kau buat diam

Jumat, 14 Maret 2014

Catatan kecil untuk aku, kita dan kalian #2


Saat amarah membasuh rasa
Jangan biarkan menjadi kerak batin yang sulit dibersihkan
Itu hanya akan menjadi penyakit rasa
Yang juga hanya akan membuatmu melupakan asa

Saat kesedihan melanda
Lapangkanlah dada
Tutuplah luka dengan tawa
Pergilah dengan sahabat yang penuh canda

Jangan buat orang sedih dengan kesedihanmu
Dan jangan buat orang lain marah dengan amarahmu
Tapi ingatlah
Ada kami para sahabatmu

Curahkanlah
Jangan sampai dengan sendirinya tumpah
Lebih baik kami yang hapus air mata dan sakitmu
Jangan buat kami merasa bersalah
Akibat tak mampu menambal perih itu

Amarah dan sedih hanyalah respon adrenalinmu
Hanya ruahan rasamu
Apapun masalah itu
Bukankah badai pasti berlalu ?

Catatan kecil untuk aku, kita dan kalian

Jeritan hati


Jeritan Hati Mencit
Kami  memang hanya seekor binatang kecil yang sering kali dianggap menjijikan..
Tapi kami juga punya rasa..
Kami bisa merasa sakit ketika kami disuntik berkali-kali ..
Kami  bisa sedih dan meneteskan air mata ketika ada saudara kami mati..
Kami  bisa juga merasakan cinta dan kasih..
Kami juga bisa marah ketika kami diperlakukan tidak baik..
Kami   pun bisa merasakan sentuhan ketulusan..
Jika kami bisa bicara, maka kami akan protes..
Tapi tak apa...
Jika kami memang diciptakan untuk menjadi hewan percobaan..
Kami ikhlas ..
Kami ikhlas jika tubuh ini harus dibeleh , disuntik berkali-kali..
Asalkan pengorbanan kami dan tetesan darah kami  tidak disia-siakan  ...
Demi kemajuan  dan perkembangan ilmu pengetahuan....




 Untuk totol,kiku dan endut. Terimakasih atas kerja sama kalian dan pengorbanan kalian.Takkan kami siasiakan pengorbanan kalian..