Sabtu, 19 April 2014

#2

Kertas tua lusuh kekuningan tertumpuk di antara kertas-kertas penuh tulisan tangan yang lapuk oleh air. Kutarik kertas paling berbeda dari yang lainnya. Tergambar bayi mungil dengan tawanya yang riang dan tangan kirinya yang menggapai meraih sesuatu. Sedang tangan kanannya meremas pesawat mainan mungil seolah tak ingin seorangpun merebut pesawat itu darinya. Oh, betapa lucunya ia. Lalu tertulis dengan tinta hitam yang khas di pojok kanan bawah pada secarik kertas itu Adam 737-400 . Pikiranku terpusat pada tulisan ini sekarang. Adam.. 737-400.. ada apa dengan bayi ini? Apakah namanya Adam? Bayi lelaki ini bernama Adam? Lalu 737-400? Oh mungkin wanita itu sebenarnya mencari anaknya yang bernama Adam. Berikut dengan nomor telepon yang ia sertakan.
                Hampir saja kuhabiskan waktuku pada berkas yang tertukar ini. Ah sial! Sudah pukul 9.15! Bu Rosa pasti sudah menunggu di taman tempat kami berjanji menukarkan terjemahan ini dengan bayaranku yang telah disepakati. Tapi berkasku tertukar. Mau tak mau aku harus kembali lagi ke rusun menemui perempuan itu.
                Kupercepat gerak langkahku setengah berlari tunggang langgang menuju depan rumahnya. Pintu bernomorkan 306 tepat di seberang rumahku di lantai 3, inilah tempat wanita itu biasa keluar di malam hari sekitar pukul 22.00 wib. Kuayunkan lenganku mengetuk pintu rumahnya. “Permisi..” Sahutku dengan suara setengah tercekat karena tenggorokan yang kering sehabis jalan cepat. “Halooooo! PERMISIIIII! SPADAAA..” Hampir saja aku kehilangan kesabaran. Wanita tinggi setengah bungkuk berambut panjang dancukup cantik ini mengintip dari daun pintu rumahnya. Aku tersenyum mengangkat alis mataku berusaha seramah mungkin meski sebenarnya hatiku benar-benar marah dibuatnya.
                “Maaf, Mbak.. Mmh, tadi.. Berkas…” Tanganku merapihkan susunan berkas miliknya yang tertukar sambil mencoba menerangkan maksud kedatanganku, namun belum selesai berbicara, berkasku disodorkan tepat di depan mataku yang menunduk memegang berkasnya. Aku mendongak kaget.
                “Ini, tertukar ya? Maaf.” Suaranya lembut, namun gelang ditangannya mencuri perhatianku cukup lama. Sepertinya pernah kulihat. Tapi di mana. Aku mendongak menatap wajah wanita itu. “Ah iya, ini berkas saya.” Cepat-cepat kuperiksa berkas itu jangan sampai tertukar apalagi ada yang hilang. “Benar! Terima..” Saat kuangkat lagi wajahku dan mataku menulusuri sekeliling, sosok wanita itu telah hilang. Orang sekarang ternyata tak lagi seramah yang kukira. Main tinggal, pergi, hilang. Aku tak dianggap, seperti hantu saja. Hantu? Bodoh, mana mungkin wanita itu hantu. Jelas-jelas aku menabraknya, berinteraksi dengannya meskipun sebatas berkas yang tertukar. Mungkin dia tak ingin membuang waktu denganku lebih lama. Waktu?! Sial! ah Lunaaaa..! Kamu lupa janjimu lagi kan??!
                Berlari lagi.. Melewati belokan pertama.. Kedua.. Lurus.. Taman.. Akhirnya aku sampai juga di sini. Sekarang aku harus mencari Bu Rosa. Hmm.. Mataku dengan cepat mengitari bangku-bangku taman di daerah kampusku. Bu Rosa sedang duduk di seberang sana. Dengan gaya khas kemeja merah, celana hitam, hills hitam mengkilat, tas papilon, dan rambut coklatnya yang bergelombang membaur bersama asap rokok yang keluar dari bibir merahnya. Kakinya bersilang menikmati setiap hirupan rokok di tangannya. Kurapikan pakaianku yang berantakan setelah pemanasan tak terencana di pagi menjelang siang. Kumantapkan langkahku berjalan lurus ke arahnya.
                “Ibu Rosa? Maaf telah menunggu lama.” Wajahnya menatapku lurus. Seluruh kosakata permintaan maafku hilang seketika menunggu respon yang akan dia berikan untukku.
                “Dasar mahasiswi. Gak kuliah, tugas, masih saja terlambat! Mau jadi apa bangsa ini bila semuanya terlambat? Jelas saja kemajuannya selalu terlambat. Orang lain sudah bisa buat roket, kita baru bisa buat pesawat. Pesawatnya sudah dibuat, tapi tidak dilanjutkan. Selalu terlambat, tak tuntas. Karena saat kuliah saja sudah begini.” Nada bicaranya tenang, tapi setiap kata yang terdengar di daun telingaku langsung merasuk menghunus batinku. “Ya sudah, tak apa. Seandainya saja aku punya lebih banyak waktu tentu aku tak akan meminta bantuanmu menerjemahkan dokumenku.”
                Aku mengulurkan berkas terjemahan ini pada Bu Rosa. Tak lagi berkata. Percuma saja apa yang akan kujelaskan, aku telah dinilai buruk olehnya. “Ini upahmu. Tidak aku kurangi meski kau telah mengurangi waktuku.” Aku terdiam. Ingin rasanya kutepiskan saja uang itu. Harga diri ini tak senilai dengan harga yang dibayarkannya atas pekerjaanku. Telah dihina, dicerca, bahkan dinilai seburuk itu.
“Kok diam? Kamu gak butuh uang ini?” Dia menyodorkan amplop itu ke arahku.
“Butuh, Bu.” Suaraku parau, lemas menerima amplop hinaan Bu Rosa. Sayang, tangan putih halus dan bersih itu tak sehalus budinya. Didorongnya amplop itu dengan tangan kanannya kepadaku, sedang tangan kirinya menjatuhkan rokok itu ke tanah dan kaki kirinya menginjak-injak rokok itu hingga padam. Dia pun berlalu membawa dokumen yang telah kuterjemahkan.
                Cring… Cring… Suara gemerincing menarik perhatianku. Aku memutar, memusatkan mataku pada benda di tas Papilon milik Bu Rosa. Gelang berukuran lebih kecil tergantung di tasnya. Gelang berbentuk burung elang seperti yang kulihat di pergelangan tangan wanita itu. Dan.. gelang yang pernah kulihat di.. ah ya! Potongan gambar gelang yang ada di kertas kuning lusuh bergambar bayi. Masih samar.. Ingatan yang sekelebat datang dan hilang seperti susunan puzzle rumit yang sulit aku persatukan. Ada apa dengan hari ini? Apakah aku masuk pada lingkaran gelang antik yang tiba-tiba menjadi susunan tak beraturan di benakku? Gelang.. Ada apa dengan gelang elang itu? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar