Kertas tua lusuh kekuningan tertumpuk di antara
kertas-kertas penuh tulisan tangan yang lapuk oleh air. Kutarik kertas paling
berbeda dari yang lainnya. Tergambar bayi mungil dengan tawanya yang riang dan
tangan kirinya yang menggapai meraih sesuatu. Sedang tangan kanannya meremas
pesawat mainan mungil seolah tak ingin seorangpun merebut pesawat itu darinya. Oh, betapa lucunya ia. Lalu
tertulis dengan tinta hitam yang khas di pojok kanan bawah pada secarik kertas itu Adam
737-400 . Pikiranku
terpusat pada tulisan ini sekarang. Adam.. 737-400.. ada apa dengan bayi ini?
Apakah namanya Adam? Bayi lelaki ini bernama Adam? Lalu 737-400? Oh mungkin wanita
itu sebenarnya mencari anaknya yang bernama Adam. Berikut dengan nomor telepon
yang ia sertakan.
Hampir saja kuhabiskan
waktuku pada berkas yang tertukar ini. Ah sial! Sudah pukul 9.15! Bu Rosa pasti sudah menunggu di taman tempat kami berjanji menukarkan
terjemahan ini dengan bayaranku yang telah disepakati. Tapi berkasku tertukar.
Mau tak mau aku harus kembali lagi ke rusun menemui perempuan itu.
Kupercepat gerak
langkahku setengah berlari tunggang langgang menuju depan rumahnya. Pintu
bernomorkan 306 tepat di seberang rumahku di lantai 3, inilah tempat wanita itu
biasa keluar di malam hari sekitar pukul 22.00 wib. Kuayunkan lenganku mengetuk
pintu rumahnya. “Permisi..” Sahutku dengan suara setengah tercekat karena
tenggorokan yang kering sehabis jalan cepat. “Halooooo! PERMISIIIII! SPADAAA..”
Hampir saja aku kehilangan kesabaran. Wanita tinggi setengah bungkuk berambut
panjang dan…cukup cantik ini
mengintip dari daun pintu rumahnya. Aku tersenyum mengangkat alis mataku
berusaha seramah mungkin meski sebenarnya hatiku benar-benar marah dibuatnya.
“Maaf, Mbak.. Mmh, tadi.. Berkas…” Tanganku
merapihkan susunan berkas miliknya yang tertukar sambil mencoba menerangkan
maksud kedatanganku, namun belum selesai berbicara, berkasku disodorkan tepat
di depan mataku yang menunduk memegang berkasnya. Aku mendongak kaget.
“Ini, tertukar ya?
Maaf.” Suaranya lembut, namun gelang ditangannya mencuri perhatianku cukup
lama. Sepertinya pernah kulihat. Tapi di mana. Aku mendongak menatap wajah
wanita itu. “Ah iya, ini berkas saya.” Cepat-cepat kuperiksa berkas itu jangan
sampai tertukar apalagi ada yang hilang. “Benar! Terima..” Saat kuangkat lagi
wajahku dan mataku menulusuri sekeliling, sosok wanita itu telah hilang. Orang
sekarang ternyata tak lagi seramah yang kukira. Main tinggal, pergi, hilang.
Aku tak dianggap, seperti hantu saja. Hantu? Bodoh, mana mungkin wanita itu
hantu. Jelas-jelas aku menabraknya, berinteraksi dengannya meskipun sebatas
berkas yang tertukar. Mungkin dia tak ingin membuang waktu denganku lebih lama.
Waktu?! Sial! ah Lunaaaa..! Kamu lupa janjimu lagi kan??!
Berlari lagi..
Melewati belokan pertama.. Kedua.. Lurus.. Taman.. Akhirnya aku sampai juga di
sini. Sekarang aku harus mencari Bu Rosa. Hmm.. Mataku dengan cepat mengitari bangku-bangku
taman di daerah kampusku. Bu Rosa
sedang duduk di seberang sana. Dengan gaya khas kemeja merah, celana hitam,
hills hitam mengkilat, tas papilon, dan rambut coklatnya yang bergelombang
membaur bersama asap rokok yang keluar dari bibir merahnya. Kakinya
bersilang menikmati setiap hirupan rokok di tangannya. Kurapikan pakaianku yang berantakan setelah
pemanasan tak terencana di pagi menjelang siang. Kumantapkan langkahku berjalan
lurus ke arahnya.
“Ibu Rosa? Maaf telah
menunggu lama.” Wajahnya menatapku lurus. Seluruh kosakata permintaan maafku
hilang seketika menunggu respon yang akan dia berikan untukku.
“Dasar mahasiswi. Gak kuliah, tugas, masih saja terlambat!
Mau jadi apa bangsa ini bila semuanya terlambat? Jelas saja kemajuannya selalu
terlambat. Orang lain sudah bisa buat roket, kita baru bisa buat pesawat.
Pesawatnya sudah dibuat, tapi tidak dilanjutkan. Selalu terlambat, tak tuntas.
Karena saat kuliah saja sudah begini.” Nada bicaranya tenang, tapi setiap kata
yang terdengar di daun telingaku langsung merasuk menghunus batinku. “Ya sudah,
tak apa. Seandainya saja aku punya lebih banyak waktu tentu aku tak akan meminta
bantuanmu menerjemahkan dokumenku.”
Aku mengulurkan berkas
terjemahan ini pada Bu Rosa. Tak lagi berkata. Percuma saja apa yang akan
kujelaskan, aku telah dinilai buruk olehnya. “Ini upahmu. Tidak aku kurangi
meski kau telah mengurangi waktuku.” Aku terdiam. Ingin rasanya kutepiskan saja
uang itu. Harga diri ini tak senilai dengan harga yang dibayarkannya atas
pekerjaanku. Telah dihina, dicerca, bahkan dinilai seburuk itu.
“Kok diam? Kamu gak butuh uang ini?” Dia
menyodorkan amplop itu ke arahku.
“Butuh, Bu.” Suaraku parau, lemas menerima amplop
hinaan Bu Rosa. Sayang, tangan putih halus dan bersih itu tak sehalus budinya.
Didorongnya amplop itu dengan tangan kanannya kepadaku, sedang tangan kirinya menjatuhkan
rokok itu ke tanah dan kaki kirinya menginjak-injak rokok itu hingga padam. Dia
pun berlalu membawa dokumen yang telah kuterjemahkan.
Cring…
Cring… Suara gemerincing menarik perhatianku. Aku memutar, memusatkan mataku
pada benda di tas Papilon
milik Bu
Rosa. Gelang berukuran lebih kecil tergantung di tasnya. Gelang berbentuk burung elang seperti yang kulihat di pergelangan tangan wanita
itu. Dan.. gelang yang pernah kulihat di.. ah ya! Potongan gambar gelang yang
ada di kertas kuning lusuh bergambar bayi. Masih samar.. Ingatan yang sekelebat
datang dan hilang seperti susunan puzzle
rumit yang sulit aku persatukan. Ada apa dengan hari ini? Apakah aku masuk pada
lingkaran gelang antik yang tiba-tiba menjadi susunan tak beraturan di benakku?
Gelang.. Ada apa dengan gelang
elang itu? 