**
“Ah sudahlah mungkin gelang itu memang kebetulan saja mirip, tidak ada hubungannya antara perempuan itu dan ibu rosa, tidak usah aku pikirkan, lebih baik aku segera ke kelas untuk kuliah” ucapku dalam hati. “Astaga!! Jam 10 kurang 5??” teriakku saat melirik jam tangan. “Payah, aku hampir terlambat!” Aku lalu bergegas, berlari menuju kelas. “Yatuhan, ada apa denganku hari ini? Apakah engkau sangat menyukaiku berlari?!” Ceracauku dalam hati. Aku tidak boleh terlambat, ini kelasnya bu Miska, dan aku sudah punya pengalaman tidak boleh masuk kelasnya dulu padahal aku tidak telat sama sekali, ia saja yang datang terlalu rajin. Sebal sekali. Ibu miska memang dosen yang punya gaya mengajar nyentrik, dia memiliki aturan khusus perihal keterlambatan mahasiswa, tidak akan ada yang boleh masuk ke kelas jika ia sudah hadir di depan kelas. Jika ada yang datang tepat waktu sekalipun, saat bu miska sudah berdiri di depan kelas siap untuk mengajar, maka tak ada gunanya, nasibnya akan sama saja sepertiku dulu. Aku kemudian berjalan cepat melewati kantin, menaiki tangga, melewati lab bahasa, kelas bu miska ada di kelas di sebelah lab tersebut. Aku kemudian memperlambat jalanku, dari sini bisa kudengar kelas masih gaduh sekali. “Huh selamaaaaaaaat! Untung bu miska belum ada..” Kataku lega. Aku kemudian masuk dan menempati kursi yang masih kosong, kursi di baris kedua di sisi jendela. Aku menyukai posisi ini, dari sini aku bisa melihat taman dan lapangan kampus, setidaknya bisa mengusir rasa bosan, aku bisa melihat teduhnya pepohonan dan orang lalu lalang. “Lunaaa!” tiba-tiba saja ada yang memanggilku. Aku pun menoleh, ternyata ia Yasmin, teman kuliah yang cukup dekat denganku, “Kenapa, Yas?” tanyaku pada Yasmin. “Kok kamu telat sih? Untung bu Miska belum dateng loh” “Iya, biasa, kamu tahu kan aku ada urusan sebentar dengan pekerjaan sampinganku itu” Ucapku dengan nada datar. “Oh, kok kamu kaya gak semangat gitu sih Lu? Ada apa? Apakah ada klienmu yang macam-macam?” Tanya Yasmin perhatian. “Tidak, mungkin aku hanya cape karena berlari tadi saat kesini.” “Beneran, Lu?”
“Pagi, maaf saya terlambat, tadi saya ada rapat dengan para dosen lainnya.” Ucap bu Miska sambil memasuki kelas. Kehadirannya langsung menutup pembicaraan aku dan Yasmin. Aku bersyukur di dalam hati, bukan aku tidak ingin bercerita, mungkin aku hanya sedang malas menjelaskan pada Yasmin, aku sedang tidak ingin membahas kekecewaanku pada bu Rosa yang telah menghinaku dengan seenaknya, “Huh… andai aku tak harus melakukan pekerjaan itu.” Keluhku dalam hati. Bu miska lalu menjelaskan tentang teori dan rumus-rumusnya lalu berulang-ulang kali mengingatkan bahwa kami harus lebih teliti lagi dalam menghitung, cerewet sekali. Bosan. Perhatianku beralih ke pemandangan di jendela. Setengah melamun aku melihat orang-orang berkerumun di sisi-sisi lapangan, melihat yang lainnya berjalan sendiri-sendiri. Aku suka memperhatikan orang-orang. Memerhatikan mereka berinteraksi, berperilaku. Tenggelam dalam semua itu, sejujurnya harus kuakui bahwa aku kurang menyukai bidang yang sedang aku tekuni ini, administrasi bisnis, aku pikir aku lebih menyukai psikologi. Ilmu untuk memahami manusia dan kehidupan. Mungkin jika aku mempelajarinya, aku bisa lebih baik untuk mencerna apa yang terjadi dalam hidupku beberapa bulan terakhir ini, apa yang tuhan inginkan dalam hidupku, aku rasa terlalu cepat dan…. Berat. Aku rasa aku… merindukan ayah dan ibu. Tak terasa air mata menggenangi mataku dan langsung membuatku tersadar bahwa aku masih ada di kelas. Aku lalu cepat-cepat menghapusnya dengan kedua tanganku sebelum ada yang melihat. “Huh…” Kuhembuskan nafas untuk membuat perasaanku lega. Entah bagian mana saja yang telah aku lewatkan, saat aku kembali memerhatikan bu Miska di depan kelas. Ia sedang memastikan bahwa kami mengerti apa yang ia jelaskan sedari tadi dan tak lupa ia mengingatkan kami bahwa minggu depan kuis akan diadakan lalu bergegas keluar kelas. “HAAAAAAAH” Teriak orang-orang di kelas riuh. Aku kaget dan tak sempat memperhatikan. “Biarlah, mungkin aku nanti bisa belajar dengan Yasmin. Aku yakin dia bisa membantuku.” Komentarku dalam hati. “Yas aku pulang duluan ya!” “Yoooo!” teriak yasmin saat aku berjalan ke pintu kelas.
Aku melangkah menuju rumah dengan pasti seakan ingin menguatkan kembali diri ini. Aku berulang kali menanamkan dalam hatiku bahwa apapun yang terjadi dalam hari-hariku, aku tidak boleh lemah, aku harus terus tegar, berusaha yang terbaik demi hidup kakak, adik, dan nenekku sekarang.
--
Sesampainya di dekat rumah susun, belum aku mencapai gerbang, langkahku terhenti, aku mendapati seorang perempuan sedang mengobrol dengan seorang lelaki di gerbang rusun. Aku kini berdiri dibelokan pinggir rumah susunku. Perempuan itu, yang tertukar berkas denganku pagi tadi. Tubuh lelaki itu kekar berisi dan tinggi. Aku hanya bisa melihat laki-laki itu dari kejauhan, wajahnya samar tak kelihatan. Tapi aku bisa melihat perempuan itu sedang menangis. “Kenapa dia menangis yah?” tanyaku penasaran. Aku celingak celinguk untuk mendapatkan jawaban. Samar-samar aku bisa mendengar percakapan mereka. “Aku sudah tidak tau lagi Yo harus mencari kemana” isak si perempuan, “Kamu harus bersabar! Kita akan mengupayakan segala cara untuk mencarinya. Kamu harus percaya kita akan menemukannya.” Kata si lelaki menenangkan. Perempuan itu hanya bisa diam, pandangannya menerawang kosong. “Aku ngga tau pertanda apa ini sebenarnya, tapi setelah berbulan-bulan, aku sempat lagi melihat ibu pagi ini, Yo. Aku melihat ibu terlihat frustasi, ia bahkan sekarang merokok, Yo, merokok. Apa yang sudah kulakukan…..” Ratapnya. “Aku masih melihat ibu masih memakai tanda keluarga kami, Yo, masih.” Katanya sambil meremas-remas pergelangan tangannya sendiri. “Tapi adikku satu-satunya, Yo, Adam, Yo huhuhuhu” Isak nya makin keras. “Sudah-sudah” Kata si lelaki sambil memeluk perempuan itu.
Aku menyaksikan dengan penuh kebingungan.
“Adiknya? Rokok? Tanda keluarga?? Apa yang sedang ia maksudkan sebenarnya?”
Aku berakhir dengan bingung yang sangat terlalu.
---